Kamis, 24 Maret 2011

KESEHATAN KELUARGA DAN SEJAHTERA

 
KATA PENGANTAR

            Puji syukur kami panjatkan Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah tentang Keluarga Sehat dan Sejahtera”.
Penulisan Makalah ini kami persembahkan sebagai bukti autentik kesungguhan kami menjadi Mahasiswa UBI dan bersedia mengembangkan potensi diri pada khususnya, dan menghantarkan kemajuan fakultas Kesehatan pada umumnya di masa yang akan datang.
Dalam kesempatan ini kami akan mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak – pihak yang terlibat dalam penyusunan makalah ini yang bersedia memacu semangat daya serta memfasilitaskan kami.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah tentang. Pengantar keluarga sehat dan sejahtera, ini mengalami banyak kekurangan sehingga kami sangat mengharap kritik dan saran dari pembaca yang sifatnya membangun sangat kami harapkan.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami penyusun pada khususnya dan pembaca pada umumnya.


                                                                        Banyuwangi, 24 Maret 2011
                                                                                         Penulis




DAFTAR ISI

Kata Pengantar ................................................................................................. i
Daftar Isi  .......................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang ...................................................................................... 1
  2. Rumusan Masalah ................................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN
  1. Keluarga Sehat ......................................................................................
  2. Keluarga Sejahtera ................................................................................

BAB III PENUTUP
  1. Kesimpulan ...........................................................................................
  2. Saran ....................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................
 
BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Begitu pentingnya masalah rumah tangga ini, sampai – sampai berulang dan berulang terus diingatkan. Keluarga adalah pondasi untuk membentuk masyarakat yang sehat dan kuat. Baiknya sebuah keluarga adalah baiknya masyarakat. Buruknya sebuah keluarga adalah cermin buruknya masyarakat. Hal ini dipahami betul oleh para ulama, sehingga tak jengah memberikan pituah agar setiap orang benar – benar berusaha membentuk keluarga yang sakinah mawadah warohmah. Keluarga yang harmonis adalah keluarga yang taat azas dan norma. Situasi ini menjadi concern para pengatur – pengurus bahwa rusaknya bagian kecil yang bernama keluarga, akan merusak tatanan yang besar yang disebut sebagai masyarakat dan bangsa.
Sebuah keluarga, terbentuknya diawali dengan suatu prosesi yang disebut perkawinan. Yaitu bertemunya dua sejoli untuk berjanji setia menyempurnakan agama dan saling menjaga dengan prinsip saling menghormat dan taat di dalamnya. Nah, sebelum terlanjur jauh melangkah, perlu rasanya menyamakan perpsepsi dulu di sini bahwa inti untuk membina keluarga bahagia adalah terciptanya hubungan timbal - balik yang baik antara suami dan istri. Karena merekalah lakon utamanya. Padanyalah bagaimana sebuah bahtera keluarga akan dibawa. Maju, mundur, goyang, oleng, baik, buruk dan sebagainya. Dari sini rasanya perlu menyimak sebuah cerita inspiratif dari Plato tentang esensi perkawinan.
B.     Rumusan Masalah
Seperti diketahui bahwa masalah kesehatan sangat luas ruang lingkupnya dan sangat kompleks. Masalahnya bukan hanya menyangkut kesehatan semata- mata tetapi faktor sosial budaya, ekonomi, pendidikan, sikap dan kepercayaan turut berpengaruh didalamnya. Jika dilihat dari sudut ini, maka masalah kesehatan bukan hanya masalah dokter, dan ahli-ahli kesehatan saja, tetapi  masalah kesehatan juga merupakan tanggung jawab para ahli ilmu sosial.
BAB II
PEMBAHASAN

KELUARGA SEHAT DAN SEJAHTERA
A.     KELUARGA SEHAT
1.      Konsep Sehat dan Tidak Sehat
Untuk memahami keluarga sehat, maka perlu lebih dahulu dilakukan observasi terhadap kehidupan beberapa keluarga terutama di kota. Hasil observasi tersebut kemudian dianalisis dan ditulis secara konsepsional, rinci, dan sistematis, sehingga dapat dipahami konsep sehat. Sehat adalah keadaan seseorang tidak sakit badan dan jiwa, cukup makanan bergizi, hidup di lingkungan bersih, serta perilaku dan interaksi sesuai dengan etika dan hukum. Sehat yang memenuhi keempat unsur ini didambakan oleh setiap orang atau keluarga karena memenuhi syarat kehidupan modern. Apabila keluarga memenuhi keempat unsur dalam konsep tersebut, dapat di katakan bahwa keluarga itu adalah “keluarga sehat” dalam arti yang paling sempurna atau lengkap (family in complete health). Jika salah satu unsur saja tidak dipenuhi, dapat berpengaruh terhadap kehidupan keluarga secara keseluruhan dengan sebutan tertentu.
Akibatnya, akan muncul konsep-konsep alternatif yang mengandung pernyataan dalam arti tidak sehat dari segi tertentu, seperti berikut:
a.       Sering tidak sehat badan disebut keluarga sakit-sakitan (sickly family).
b.      Tidak mampu membeli makanan bergizi disebut keluarga miskin (poor family).
c.       Tinggal di lingkungan kotor dan bau disebut keluarga kumuh.
d.      Tinggal di lingkungan kotor dan becek disebut keluarga jorok.
e.       Sering melakukan kejahatan dan keonaran disebut keluarga brengsek
f.        Istlah-istilah sejenis lainnya.
Keluarga dengan sebutan-sebutan alternatif di atas umumnya dapat dijumpai di berbagai kota negara-negara  yang jumlah penduduknya padat, pendidikan tidak memadai, lapangan pekerjaan terbatas, pendapatan per kapita rendah, pembangunana tidak teratur, dan situasi politik tidak menentu. Hal ini, antara lain dapat dijumpai di Asia seperti India, Indonesia, Bangladesh, dan Myanmar, di Afrika seperti Sudan, Ethiopia, dan Kongo. Di Indonesia, keluarga yang tidak beruntung ini banyak di jumpai di kota-kota besar, seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, Yogyakarta, dan Bandung yang disebut masyarakat miskin kota (poor urban society).

2.      Sehat Badan dan Sehat Jiwa
Seorang anggota keluarga dikatakan sehat badan (sound of body), tidak dalam keadaan sakit fisik apabila badannya segar bugar, tidak sakit/cacat akibat penyakit, kecelakaan, atau akibat benturan dengan suatu benda keras, atau akibat serangan pihak lain atau binatang buas. Seorang anggota keluarga dikatakan sehat jiwa (soun of mind), tidak dalam keadaan sakit jiwa apabila cara berpikir dan bertindaknya waras, mampu membekan antara mana yang benar dan salah, mana yang baik dan buruk, serta mana yang bermanfaat dan merugikan. Seseorang yang sehat badan dan jiwa biasanya mampu bekerja, berkomunikasi, dan berinteraksi secara wajar, teratur, serta mampu bertanggung jawa. Sehat badan dan jiwa merupakan konsep sehat dalam arti yang hakiki atau arti yang sesungguhnya. Yang menentukan perjalanan hidup seseorang. Sehat badan dan jiwa merupakan keberuntungan seseorang. Antara sehat badan dan jiwa tidak selalu terjadi pengaruh timbal balik. Biasanya orang sehat badan adalah juga sehat jiwa. Seperti kata peribahasa, pada badan yang sehat terdapat jiwa yang sehat. Namun, pada suatu keadaan, mungkin terjadi seseorang sehat badan, tetapi tidak sehat jiwa. Badannya segar bugar, tidak terserang penyakit, bebas bergerak ke mana saja, tetapi jiwanya tidak waras, membahayakan dan merugikan orang lain serta merusak barang yang ada disekitarnya. Sebaliknya, mungkin pula terjadi orang sehat jiwa tetapi tidak sehat badan. Badannya tidak sehat karena terserang penyakit, tidak bebas bergerang ke mana saja, tetapi jiwanya waras, tidak mengganggu orang.
Orang tidak sehat badan atau tidak sehat jiwa memerlukan perawatan dan perlakuan (trearment) yang berbeda. Perawatan dan perlakuan terhadap orang tidak sehat badan atau tidak sehat jiwa dilakukan oleh tenaga medis profesional yang berbeda dan di tempat perawatan yang berbeda pula. Tenaga medis yang dimaksud adalah dokter, dokter gigi, dokter jiwa, dan dokter spesialis, semuanya disebut medical doctorI. Dalam melaksanakan tugasnya, dokter medis dibantu oleh jururawat yang disebut perawat (nurse).

3.      Makanan Bergizi
Seorang anggota keluarga yang sehat badan dan jiwa adalah orang yang mengonsumsi makanan bergizi (nutritious food) dalam ukuran yang cukup (normal). Makanan bergizi artinya gizi (nutrient) makanan tersebut sudah ditentukan ukuran jumlah dan jenis kecukupannya menurut ilmu gizi (nutrition). Jenis makanan yang cukup itu biasa disebut empat sehat atau lima sempurna. Makanan empat sehat itu terdiri dari nasi/roti, sayur, lauk, buah, dan susu. Makanan empat sehat atau lima sempurna merupakan dambaan semua keluarga, namun tingkat pendapatan dan jumlah anggota kelurga itulah yang mempengaruhinya.
Dari segi makanan empat sehat lima sempurna, kehidupan keluarga yang satu berbeda dengan keluarga yang lain. Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh besar dan kecilnya jumlah anggota keluarga serta tinggi dan rendahnya pendapatan keluarga. Pada keluarga yang jumlah anggotanya kecil, tetapi pendapatan keluarganya besar, pemenuhan kebutuhan makanan empat sehat lima sempurna akan lebih terjamin. Sebaliknya, pada keluarga yang jumlah anggotanya besar, tetapi pendapatan keluarga kecil, pemenuhan kebutuhan makanan empat sehat lima sempurna akan kurang terjamin atau bahkan tidak terpenuhi.
Upaya untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan meningkatkan pendapatan keluarga, tetapi hal ini terbatas pada kemampuan orang tua atau kepala keluarga. Mungkin cara efektif yang dapat ditempuh adalah melaksanakan program keluarga berencana di kalangan keluarga yang tingkat kelahirannya tinggi, tetapi pendapatan keluarganya rendah melalui penyuluhan dan pelatihan. Penyuluhan dan pelatihan keluarga berencana dapat dilakukan oleh tenaga medis yang relevan dibantu oleh tenaga bidan (mid-wife), atau mungkin juga perawat (girl nurse). Manfaat keluarga berencana adalah pegaturan masa kehamilan, penurunan jumlah kelahiran, pengurangan angka kematian, dan peningkatan kesejahteraan keluarga
Di samping itu, juga dapat dilaksanakan program makanan bergizi (empat sehat lima sempurna) melalui penyuluhan dan pelatihan. Makanan bergizi tidak selalu harus diperoleh dengan harga mahal. Penyuluhan dan pelatihan makanan bergizi dapat dilakukan oleh tenaga ahli gizi (nutritionist), bersama dengan tenaga ahli kesehatan lingkungan (envoronment health specialist), atau tenaga ahli kesehatan masyarakat (public health specialist), dan dibantu oleh tenaga bidan atau perawat atau tenaga kesehatan lingkungan.

4.      Lingkungan Besih
Di samping badan dan jiwa yang sehat serta cukup makanan bergizi, seharusnya orang tersebut juga tinggal dan hidup di lingkungan yang besih (clean environment) dan berpakaian bersih. Lingkungan adalah tempat hidup yang berada di daratan, lautan, atau udara. Bersih adalah keadaan yang tidak tercemar oleh kotoran manusia, hewan, sampah, limbah buangan, polusi gas, curahan minyak, suara bising, kriminalitas, yang merusak atau merugikan kehidupan manusia atau menjadi sumber penyakit. Konsep bersih yang dirumuskan ini biasa disebut “bersih fisik” (phisical cleanliness) karena bentuk atau wujud keadaan yang tidak tercemar itu dapat diamati dengan panca indera atau bersentuhan dengan raga manusia.
Di samping itu, ada pula bersih dalam arti cara berpikir bersih (clean mind), yaitu berpikir objektif, jujur, itikad baik, manusiawi, dan berpihak pada kepentingan orang banyak. Bersih dalam arti ini biasa disebut “bersih mental” (mental cleanliness). Misalnya, tidak akal-akalan, tidak membodohi orang, lebih mengutamakan kepentingan orang banyak, serta bebas dari niat korupsi dan manipulasi. Bersih mental ini dapat diketahui dan dibuktikan melalui perbuatan nyata atau hasil yang dicapai, yang dapat diamati dengan pancaindera dan dinikmati banyak orang dalam hidup bermasyarakat. Orang yang bersih mental sangat bermanfaat bagi keluarga dan masyarakat luas.
Keluarga yang telah memenuhi unsur sehat badan dan jiwa, cukup makanan bergizi, serta hidup dilingkungan yang bersih, dapat dapat dikatakan telah mempunyai tingkat kesejahteraan hidup yang cukup baik. Ketiga unsur tersebut saling berkaitan. Kesehatan (badan dan mental) adalah syarat utama untuk berkerja mencari nafkah guna memperolah makanan bergiz. Makanan bergizi pasti bersih, sehingga orang yang mengonsumsinya menjadi sehat. Jadi, keluarga sehat itu adalah keluarga yang sehat badan dan jiwa, cukup makanan bergizi, pakaian bersih, tinggal dilingkungan bersih, dan mampu bekerja keras.
Upaya yang dapat ditempuh agar keluarga selalu bersih adalah menyadarkan anggota keluarga agar selalu dan terbiasa :
a.       Memelihara diri tetap bersih, mandi sedikit-dikitnya 2 (dua) kali sehari pagi dan sore.
b.      Memakai pakaian bersih dan sopan walaupun harga murah.
c.       Menata lingkungan tempat tinggal (rumah, pekarangan, selokan), tetap bersih dan teratur serta menyenangkan.
d.      Menyediakan tempat pembuangan sampah di pekarangan atau di lingkungan tertentu agar tidak membuang sampah sembarangan, yang menjadi sumber penyakit.

5.      Interaksi Sesuai dengan Etika dan Hukum
Keluarga adalah pusat interaksi suami dan istri, orangtua dan anak, serta anak dan anak, atau dengan anggota keluarga lainnya. Interaksi tersebut dilakukan sesuai dengan etika keluarga yang telah dituntunkan atau di contohkan oleh orangtua (ayah dan ibu). Perilaku yang diwujudkand dalam bentuk interaksi tersebut menciptakan hubungan serasi dan harmonis, saling menghormati, saling menghargai, saling memberi dan menerima, saling membantu, serta saling asah dan asuh antara sesama anggota keluarga dalam lingkungan keluarga. Akibatnya, timbullah kondisi sehat dalam arti tertib, aman, damai, serta tenteram lahir dan batin. Keadaan ini berlangsung terus-menerus, dipatuhi dan dihargai, sampai terbiasa dan akhirnya membudaya.
Apabila anggota keluarga yang satu berhubungan dengan anggota keluarga yang lain  atau anggota masyarakat yang lebih luas, kondisi interaksi sehat tersebut berlanjut dan bahkan beradaptasi satu sana lain, sehingga terbentuklah keberlakuan kondisi sehat yang lebih luas. Jika ada anggota masyarakat yang melanggar kondisi sehat tersebut dalam arti perbuatan tidak sesuai etika (ethics), anggota masyarakat sepakan pula memberi sanksi etis, misalnya dibenci, dipencilkan dari pergaulan, tidak dihiraukan, ataupun tidak disukai. Jika perbuatan anggota masyarakat itu merugikan kepentingan orang lain, baik secara moral maupun material, pihak yang dirugikan berhak menuntut pemulihan atas kerugiannya itu. Dalam keadaan demikian, etika ditingkatkan statusnya menjadi aturan hukum (rule of  law) yang disertai sanksi tegas dan keras bagi pelanggarnya. Etika yang tadinya hanya bertarap kebiasaan positif, berubah menjadi aturan hukum positif (positive rule of law).
Dalam konteks etika dan hukum pergaulan hidup, anggota keluarga atau mesyarakat yang bertindak sesuai dengan etika atau hukum yang berlaku, menciptakan kondisi sehat yang menyenangkan bagi semua orang, bahkan terhadap pemeliharaan lingkungan alam dan hewan di sekitarnya. Suasana keteraturan berlangsung terus-menerus dan terbiasa yang akhirnya menjadi budaya keluarga atau masyarakat sadar hukum. Apabila terjadi perbuatan yang melanggar etika atau hukum, apabila menimbulkan kerugian bagi orang lain, akan timbul suasana yang tidak sehat yang meresahkan keluarga atau masyarakat sekitarnya. Kondisi perbuatan tidak sehat ini harus segera dipulihkan menjadi sehat kembali, sehingga keteraturan dan ketentraman tetap terpelihara.
Memang diakui, ketertiban dan keamanan erat kaitannya dengan kondisi kehidupan keluarga atau masyarakat. Makin tinggi tingkat penghasilan, makin baik kondisi kehidupan karena kebutuhan terpenuhi secara wajar. Sebaliknya, makin rendah tingkat penghasilan, makin buruk kondisi kehidupan karena kebutuhan tidak terpenuhi secara wajar. Keluarga yang ada dalam kondisi bengini umumnya disebut keluarga miskin. Namun, keluarga miskin belum tentu menjadi sumber keonaran dan kekacauan. Kemiskinan adalah kondisi kehidupan yang perlu diberantas karena dapat menjadi salah satu sebab timbulnya kemaksiatan atau kekacauan atau kejahatan. Akibat kemiskinan dapat berupa pencurian, perampokan, pembegalan, pelacuran, dan bentuk-bentuk kriminalitas lainnya.
Untuk mengatasi hal ini, perlu dicari akar masalahnya dan cara penyelesaian yang paling mendasar. Jika benar kemiskinan adalah akar masalah, upaya yang dapat ditempuh adalah membasmi kemiskinan melalui pelaksanaan pembangunan yang menciptakan lapangan pekerjaan sebagai sumber penghasilan. Tersedianya lapangan pekerjaan yang memadai dan merata berarti akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi guna memperkuat daya beli masyarakat. Daya beli masyarakat perlu diimbangi dengan tersedianya barang kebutuhan di pasar bebas dengan harga layak. Oleh karena itu, pemerintah perlu secara serius merealisasikan pembangunan berkelanjutan, memberantas korupsi secara gencar dan terus-menerus, serta menegakkan hukum secara konsekuen dan konsisten.

6.      Fokus Pemahaman
Berdasarkan uraian dan pembahasan yang telah dikemukakan, dapat dicatat 2 (dua) konsep sehat, yaitu sehat dalam arti yang “hakiki atau sesungguhnya” dan sehat dalam arti “hidup sempurna”. Sehat dalam arti ini menentukan kelanjutan hidup karena hanya orang sehat badan dan jiwa yang mampu mencari nafkah untuk hidup dan kelanjutan generasinya. Orang yang sakit badan dan/atau jiwa tidak mampu mencari nafkah sendiri. Sehat dalam arti “hidup sempurna”, meliputi sehat badan dan jiwa, cukup makanan bergizi, hidup di lingkungan bersih, dan interaksi dalam keluarga/masyarakat teratur, selaras dan serasi. Sehat dalam arti ini adalah sehat yang paling didambakan oleh keluarga modern.
Agar dapat diwujudkan kondisi sehat dalam arti hidup sempurna, perlu perbaikan tarap hidup keluarga atau masyarakat dengan cara meningkatkan penghasilan dengan cara apa saja asal halal, sehingga mampu memenuhi kebutuhan secara wajar. Untuk itu, kepala keluarga perlu meningkatkan kemampuan diri dalam mencara nafkah, misalnya banyak berkomunikasi, mengikuti jejak pengalaman orang yang berhasil dalam usaha, meningkatkan pengetahuan dan keterampilan, meningkatkan keinginan menabung, menghindari hidup boros, menghindari gengsi yang berlebihan, berkemauan untuk maju, dan bekerja keras. Peningkatan kemampuan kerja produktif merupakan upaya perjuangan memperbaiki nasib.

B.     KELUARGA SEJAHTERA
1.      Konsep Sejahtera
Untuk memahami keluarga sejahtera, perlu lebih dahulu dilakukan observasi terhadap kehidupan beberapa keluarga terutama di kota. Hasil observasi tersebut kemudian dianalisis dan ditulis secara konsepsional, rinci, dan sistematis, sehingga dapat dipahami konsep “sejahtera”. Sejahtera adalah keadaan keluarga yang hidup makmur, dalam kelompok teratur, berdasarkan sistem nilai, bebas dari penyakit, tidak ada gangguan, dan menyenangkan. Berdasarkan konsep tersebut, ada beberapa faktor yang perlu dikaji agar dapat menjelaskan konsep sejahtera. Beberapa faktor tersebut adalah faktor ekomoni, sosial, budaya, kesehatan, keamanan, dan hiburan, yang saling berkolerasi satu sama lain.
Faktor ekonomi berkenaan dengan kemakmuran yang pada dasarnya meliputi kecukupan sandang, pangan, dan perumahan, yang diperoleh karena mampu bekerja keras. Faktor sosial berkenaan dengan pola hidup berdasarkan sistem nilai. Faktor kesehatan berkenaan dengan hidup bersih bebas dari penyakit. Faktor keamanan berkenaan dengan ketentramana karena tidak ada gangguan fisik dan mental. Faktor hiburan berkenaan dengan kesenangan hidup yang menyegarkan. Apabila kehidupan suatu keluarga telah memenuhi faktor-faktor tersebut, dapat dikatakan bahwa keluarga itu adalah “keluarga sejahtera” dalam arti yang peling sempurna atau lengkap (family in complete welfare).
Keluarga sejahtera dalam arti  yang paling sempurna atau lengkap merupakan keluarga sejahtera yang sangat ideal, yang dalam kenyataannya jarang sekali dijumpai. Umumnya jika orang berkata tentang keluarga sejahtera, hanya berfokus pada 1 (satu) faktor, yaitu faktor ekonomi. Keluarga sejahtera dalam arti ekonomi adalah keluarga yang cukup sandang, pangan, dan perumahan. Kecukupan 3 (tiga) hal tersebut merupakan fundamen (dasar) dari kehidupan keluarga. Walaupun faktor-faktor kesejahteraan lainnya dipenuhi, orang tidak akan mengatakan sejahtera jika tidak dipenuhi kecukupan sandang, pangan, dan perumahan. Keluarga yang berkecukupan sandang, pangan, dan perumahan disebut “keluarga makmur” (welfare family).   

2.      Hidup Makmur
Kemakmuran selalu mengacu pada kondisi ekonomi yang dimiliki oleh suatu keluarga. Kondisi ekonomi yang dimaksud pada umumnya meliputi kecukupan sandang, pangan, dan perumahan yang diperoleh karena kemampuan bekerja keras. Ukuran kecukupan di sini adalah ukuran standar yang sesuai dengan tingkat pendapatan suatu keluarga. Kecukupan itu artinya tidak terlalu berlebihan dan tidak pula terlalu kekurangan, wajar-wajar saja.
Kecukupan sandang dalam arti yang wajar disesuaikan juga dengan pola hidup suatu negara, seperti pola hidup hemat lain kecukupannya dengan pola hidup boros. Sandang meliputi pakaian luar dalam, baik yang pakaian untuk dipakai di runah maupun untuk yang dipakai bekerja di luar rumah dan olahraga. Selain itu, juga pakaian untuk tidur, untuk ibadah, dan untuk mandi. Kecukupan sandang disesuaikan dengan tingkat pendapatan keluarga dan jumlah anggota keluarga. Keluarga yang anggotanya sedikit, tetapi jumlah pendapatannya banyak, tingkat kemakmurannya makin tinggi. Sebaliknya, keluarga yang anggotanya banyak, tetapi jumlah pendapatannya sedikit, tingkat kemakmurannya makin rendah.
Kecukupan pangan dalam arti yang wajar disesuaikan juga dengan pola hidup suatu negara, seperti pola hidup hemat lain kecukupannya dengan pola hidup boros. Pangan meliputi makanan pokok dan makanan pelengkap. Makanan pokok adalah jenis makanan yang lazim dikonsumsi oleh suatu keluarga menurut kelaziman setempat. Makanan pokok itu terdiri dari beras/gandum/roti, lauk-pauk, sayur-mayur, dan buah-buahan, yang disebut makanan “empat sehat”. Apabila keempat jenis makanan tersebut ditambah dengan 1 (satu) jenis minuman susu, kelima jenis makanan itu disebut makanan “lima sempurna”. Makanan pelengkap merupakan tembahan karena tidak terlalu disyaratkan, seperti bubur kacang, makanan ringan, dan jajanan, untuk pelengkap minum teh atau kopi sore hari. Kecukupan pangan juga disesuaikan dengan tingkat pendapatan keluarga dan jumlah anggota keluarga.
Kecukupan perumahan dalam arti yang wajar disesuaikan juga dengan pola hidup suatu keluarga, seperti pola hidup sederhana lain halnya dengan pola hidup mewah. Perumahan adalah tempat tinggal utama suatu keluarga, lazimnya terdiri dari kamar tidur, ruang tamu, ruang makan, ruang kerja/belajar, kamar mandi/kloset, ruang dapur, sumber penerangan, dan sumber air bersih. Kecukupan perumahan (luasnya) juga disesuaikan dengan jumlah anggota keluarga dan jenis kelamin anggota keluarga. Keluarga yang jumlah anggotanya banyak memerlukan perumahan yang luas. Anak laki-laki memerlukan kamar terpisah dengan anak perempuan. Kecukupan perumahan meliputi juga alat perlengkapan rumah tangga, seperti kursi tamu, kursi kursi/meja makan, kursi/meja kerja/belajar, lemari pakaian, dan alat-alat dapur. Perumahan dijadikan orang sebagai ukuran untuk menetukan status sosial suatu keluarga.

3.      Hidup Teratur
Seseorang tidak mungkin hidup sendiri atau menyendiri, dia harus hidup berkelompok yang disebut masyarakat. Unit masyarakat terkecil adalah keluarga yang beranggotakan paling sedikit terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anaknya. Apabila anggota keluarga dikembangkan lagi berdasarkan ikatan perkawinan dan keturunan darah, keluarga itu menjadi keluarga besar. Kehidupan keluarga inti dengan pola perilaku keluarga besar. Demikian pula, sistem nilai normatif yang berlaku pada keluarga inti akan berkembang menjadi sistem nilai normatif yang berlaku pada keluarga besar. Makin besar suatu keluarga, makin bervariasi pula perilakunya dan kebutuhannya serta cara memenuhinya. Dengan demikian, besar pula kemungkinan timbul perbedaan pendapat yang menjurus pada konflik anggota keluarga.
Dalam kehidupan keluarga, kelapa keluarga (suami, ayah) seharusnya selalu berfungsi sebagai pengambil inisiatif guna menciptakan kondisi keluarga harmonis dalam arti teratur, rukun, saling menghargai, saling menghormati, saling memberi, saling menolong dan melindungi, serta saling beramanat dalam kebaikan dan dalam kesabaran. Perbedaan pendapat dan konflik anggota keluarga diupayakan penyelesaiannya berpegang pada filosofi hidup: “Benang ditarik tidak putus, tepung tidak berserakan” serta “Mengalah untuk menang, dan menang untuk melindungi semua pihak serta menghindari perpecahan”.
“Kebersamaan lebih berharga daripada egoisme pribadi”. Kondisi kehidupan keluarga harmonis merupakan salah satu ciri keluarga yang berhasil dalam hidup berkelompok karena faktor toleransi dapat dipahami dan berfungsi secara baik di bawah tuntunan dan pengarahan kepala keluarga (ayah).

4.      Hidup Bersistem Nilai
Setiap keluarga atau kelompok masyarakat tertentu memiliki sistem nilai yang hidup dalam pikiran sebagian besar atau seluruh anggota keluarga atau kelompok masyarakat tertentu. Sistem nilai tersebut menjadi acuan perilaku dan perbuatan anggota keluarga atau kelompok masyarakat  yang bersangkutan. Sistem nilai tersebut berkembang seirama dengan meningkatnya kebutuhan dan interaksi dalam keluarga atau kelompok masyarakat. Perkembangan tersebut merupakan pengalaman baru yang mereka peroleh, baik karena pengaruh faktor internal keluarga atau kelompok masyarakat, maupun faktor eksternal akibat hubungan hidup bermasyarakat yang lebih luas.
Perkembangan sistem nilai sebagai pengaruh timbal balik antara 2 (dua) atau lebih keluarga atau kelompok masyarakat dapat menciptakan sistem nilai baru yang lebih maju, yang dapat menuntun anggota keluarga atau kelompok masyarakat menuju ke arah pola kehidupan yang lebih bermanfaat, misalnya cara kerja produktif, sistem pengamanan bersama, pendidikan dan keterampilan kerja, penyelesaian konflik secara kekeluargaan. Sistem nilai tersebut memerlukan pembinaan, pengarahan, dan pengawasan dari kepala keluarga atau tokoh kelompok masyarakat, sehingga terpola menjadi sistem nilai budaya masyarakat dalam arti yang positif.
Setiap adaptasi antara 2 (dua) atau lebih sistem nilai dapat menimbulkan dampak positif dan dampak negatif. Dampak positif jika sistem nilai baru itu menjadi sumber kemajuan keluarga atau kelompok masyarakat tanpa menimbulkan keonaran dan konflik keluarga. Dampak negatif jika sistem nilai baru itu menjadi penghalang keluarga ke arah kehidupan yang lebih baik, menimbulkan konflik keluarga yang akhirnya dapat menimbulkan perpecahan keluarga dan memberntuk kelompok keluarga lain. Biasanya dampak negatif ini timbul karena peniruan budaya luar secara utuh tanpapertimbangan yang logis dan etis, serta lebih didasarkan pada kepentingan diri sendiri dan egoisme pribadi.

5.      Hidup Sehat
Kehidupan keluarga dikatakan sehat apabila anggota keluarga bebas dari penyakit, dalam arti tidak terserang penyakit atau walaupun sudah ada gejala penyakit, keluarga cepat mengambil tindakan preventif dan penyehatan. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, faktor kesehatan ini tidak lepas dari keterkaitannya dengan faktor lain, seperti tingkat kemakmuran. Makin makmur suatu keluarga, makin terbebas dari serangan penyakit karena selalu siap melakukan pencegahan. Namun, diakui juga walaupun keluarga itu tergolong makmur dari segi kebutuhan ekonomi, belum tentu sehat dari segi mental.
Mungkin ada anggota keluarga yang tampaknya sehat, tetapi mentalnya lemah, mudah stres, dan tidak mampu menghadapi kenyataan hidup yang begitu kompleks. Hal ini dapat terjadi apabila kondisi komunikasi dalam keluarga kurang terbuka dan kurang harmonis. Kurang perhatian orangtua terhadap anak atau mungkin penerapan sistem nilai dan etika keluarga terlalu ketat, dapat dianggap sebagai membatasi ruang gerak seorang anak atau anggota keluarga lainnya, sementara yang bersangkutan tidak kuasa memberikan reaksi atau melawan kondisi demikian. Ayah selaku kepala keluarga dan ibu selaku ibu rumah tangga harus bijak dan koreksi diri terhadap kondisi keluarga. Perekat kasih sayang dan tanggung jawab dalam kehidupan keluarga mungkin kurang dihayati.
Kesehatan keluarga tidak hanya dilihat dari segi kecukupan sandang, pangan, dan perumahan, tetapi juga dari segi kasih sayang, perhatian satu sama lain, serta saling asuh dan saling asah yang hanya terjadi jika komunikasi dalam keluarga terpelihara baik dan harmonis. Orangtua tidak cenderung diktator dalam mengendalikan keluarga. Keluarga tidak hanya dipenuhi kebutuhan ekonominya, tetapi juga kebutuhan mental yang mungkin lebih melegakan dan membangkitkan gairah hidup keluarga. Jadi, kunci keberhasilan keluarga bukan hanya ditentukan oleh status sosial, melainkan juga bebas dari penyakit mental yang kini menggejala di lingkungan keluarga.

6.      Hidup Aman dan Tenteram
Keluarga sejahtera bukan hanya ditentukan oleh kemakmuran, sehat badan, dan keharmonisan keluarga, melainkan juga oleh hidup aman dan tentram lahir batin. Aman dalam arti tidak ada ancaman atau gangguan dari pihak lain atau alam lingkungan yang membuat orang jadi gelisah, resah, dan tidak betah dalam menikmati kehidupan. Ancaman dan gangguan lebih ditujukan pada kondisi fisik (lahir), misalnya sering sering terjadi pencurian, gangguan binatang berbisa atau buas, penyebaran berita bohong, ataupun ancaman teror bom. Di samping itu, tenteram dalam arti tidak ribut dan tidak bising oleh polusi suara hingar-bingar yang bersifat terus-menerus, misalnya kebisingan lalu lintas, suara keras melalui pengeras suara dari pusat-pusat kegiatan tertentu (pusat hiburan, rumah ibadah), yang sudah terlalu melampaui batas kewajaran, sehingga mengganggu ketentraman orang lain.
Menghadapi hal yang demikian ini, kepala keluarga dan tokoh mesyarakat setempat perlu secara bijaksana melakukan upaya pencegahan serta pendekatan kekeluagaan terhadap sumber ancaman dan gangguan. Upaya tersebut, antara lain melakukan ronda bersama, menjaga lingkungan dari gangguan binatang buas dan pihak lain, berkoordinasi dengan pejabat terkait guna menertibkan knalpot kendaraan, dan pendekatan terhadap pusat-pusat kegiatan tertentu agar suara tidak melebihi batas kewajaran. Gangguan ketidaktentraman lebih bersifat mental yang membuat orang gelisah, susah tidur, dan istirahat tidak nyaman.

7.      Hidup Senang
Hidup sejahtera bukan hanya ditentukan oleh kecukupan kebutuhan ekonomi, keamanan dan ketentraman lingkungan, keadaan sehat, dan keadaan teraturm, melainkan juga keadaan hidup senang. Hidup senang dapat dialami apabila keluarga dapat memenuhi kebutuhan hiburan, baik dalam lingkungan keluarga sendiri (internal) maupun di luar lingkuran keluarga atau di alam lingkungan. Hiburan erat hubungannya dengan rasa indah (konsep keindahan) yang ada dalam diri manusia. Keindahan adalah bagian dari kesejahteraan hidup manusia yang dapat dialami melalui hiburan.
Hiburan dapat berupa menikmati keindahan ciptaan manusia, seperti nyanyian, taerian, lukisan, pertunjukan yang disajikan di pusat-pusat hiburan (amusement centre), atau dilakukan sendiri, misalnya bernyanyi karaokr, melukis, ataupun menata keindahan rumah. Di samping ciptaan manusia, ada lagi keindahan ciptaan Tuhan, seperti pemandangan alam dan tubuh yang catik (peragawati). Semuanya ini akan memberikan kenikmatan yang menyenangkan bagi orang mengalaminya. Kenikmatan yang menyenangkan itu dapat diperoleh secara langsung (live) atau secara alami terhadap objek yang dilihat, ditonton, dan dipegang, atau dapat juga secara tidak langsung (recorded) melalui media elektronik, seperti hiburan melalui televisi, radio, ataupun VCD player.

8.      Fokus Pemahaman
Berdasarkan uraian dan pembahasan yang telah dikemukakan di atas, dapat dicatat bahwa ada 2 (dua) konsep sejahtera, yaitu “sejahtera dalam arti hidup berkecukupan sempurna” atau lengkap, dan “sejahtera dalam arti hidup makmur”. Sejahtera yang sempurna atau lengkap adalah keadaan hidup yang makmur, teratur, bersistem nilai, sehat, aman dan tentram, serta senang. Sejahtera yang makmur adalah kecukupan sandang, pangan, dan perumahan karena mampu bekerja keras.
Hidup sehat berkaitan timbal balik dengan hidup sejahtera. Konsep hidup sejahtera lebih luas lingkupnya dibandingkan dengan konsep hidup sehat. Hidup sehat belum tentu hidup sejahtera, tetapi hidup sejahtera sudah pasti juga hidup sehat. Hidup sehat dan hidup sejahtera adalah 2 (dua) kondisi yang saling mengisi dan saling melengkapi. Hidup sehat adalah salah satu indikator dan penjelas hidup sejahtera.
Hidup sejahtera juga berkaitan erat dengan hidup bahagia. Akan tetapi, hidup makmur belum tentu hidup bahagia. Kesejahteraan dalam arti kecukupan hidup yang paling lengkap meliputi kesejahteraan lahir dan batin. Kebahagiaan itu adalah kesejahteraan batin. Dengan demikian, kesejahteraan dalam arti ini dapat menciptakan kebahagiaan. Walaupun manusia hidup makmur, belum tentu dia hidup bahagia. Mungkin terjadi karena cukup sandang, pangan, dan perumahan, tetapi tidak memahami cara mengurus dan memanfaatkannya dapat menjadi bumerang bagi pemiliknya. Dengan hartanya itu perbuatannya dapat mengarah pada perbuatan maksiat. Sudah dapat diduga akibatnya, yaitu kehidupan keluarga tidak tentram dan gelisah, alias tidak bahagia.
Dihubungkan dengan tingkat kesejahteraan yang telah diuraikan di atas, maka kehidupan keluarga dapat dikategorikan menjadi 4 (empat) kelompok yaitu :
a.       Keluarga prasejahtera, yaitu keluarga yang “belum memenuhi” kebutuhan dasar minimal yang berupa sandang, pangan, dan perumahan yang kayak
b.      Keluarga sejahtera, yaitu keluarga yang “sudah memenuhi” kebutuhan dasar minimal yang berupa cukup sandang, pengan, dan perumahan yang layak.
c.       Keluarga cukup sejahtera, yaitu keluarga yang “sudah memenuhi” kebutuhan dasar minimal, ditambah kebutuhan pendidikan dan hiburan yang layak.
d.      Keluarga sempurna sejahtera, yaitu keluarga yang sudah memenuhi semua kebutuhan dasar hidup manusia sandang, pengan, perumahan, pendidikan, hiburan, dan pekerjaan serta komunikasi dan informasi.

BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
Keluarga adalah satu institusi sosial karena keluarga menjadi penentu utama tentang apa jenis warga masyarakat. Apabila keluarga kukuh, maka masyarakat akan bersih dan kukuh. Namun apabila rapuh, maka rapuhlah masyarakat. Begitu pentingnya keluarga dalam menentukan kualitas masyarakat, sehingga dalam pembentukan sebuah keluarga harus benar-benar mengetahui pilar-pilar membangun sebuah keluarga.
Untuk mencapai jiwa yang sehat diperlukan usaha dan waktu untuk mengembangkan dan membinanya. Jiwa yang sehat dikembangkan sejak masa bayi hingga dewasa, dalam berbagai tahapan perkembangan. Pengaruh lingkungan terutama keluarga sangat penting dalam membina jiwa yang sehat. Salah satu cara untuk mencapai jiwa yang sehat adalah dengan penilaian diri yaitu bagaimana seseorang melihat dirinya yang berkaitan erat dengan cara berpikir, cara berperan, dan cara bertindak.

B.     Saran
1.      Merencanakan masa depan dengan lebih baik: Belajar hidup tertib dan teratur dan menggunakan waktu sebaikbaiknya.
2.      Menerima diri sendiri sebagaimana adanya
3.      Menerima lingkungan sebagaimana adanya
4.      Berbuat sesuai kemampuan dan minat
5.      Membuat keputusan yang bijaksana
6.      Berpikir positif
7.      Membicarakan persoalan yang dihadapi dengan orang lain yang dapat dipercaya


DAFTAR PUSTAKA



Noor, Faried Ma’ruf. 1983. Menuju keluarga sejahtera dan bahagia. Bandung. PT.Alma’arif

Tidak ada komentar:

Posting Komentar